Rabu, 29 Mei 2013
BAGAIMANA AL-QUR'AN DIKUMPULKAN
PENGUMPULAN AL-QUR’AN
A. PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI SAW
a. Macam-macam kategori pengumpulan Al-Qur’an
Pengumpulan Al-Qur’anul Karim terbagi dalam dua periode:
1. Periode Nabi saw
2. Periode Khulafa’ur Rasyidin
Masing-masing periode tersebut mempunyai beberapa ciri dan keistimewaan.
Istilah pengumpulan kadang-kadang dimaksudkan dengan penghafalan dalam hati, dan kadang-kadang pula dimaksudkan dengan penulisan dan pencatatan dalam lembaran-lembaran.
Pengumpulan Al-Qur’an di masa Nabi ada dua kategori :
1) Pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan/pengekspresian dan
2) Pengumpulan dalam dokumernatau catatan berupa penulisan pada kitab maupun berupa ukiran.
Kami akan menjelaskan keduanya secara terurai dan mendetail agar nampak bagi kita suatu perhatian yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan penulisannya serta pembukuannya. Langkah-langkah semacam ini tidak terjadi pada kitab-kitab samawy lainnya sebagaimana halnya perhatian terhadap Al-Qur’an, sebagai kitab yang maha agung dan mu’jizat Muhammad yang abadi.
1. Pengumpulan Al-Qur’an dalam dada
Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummi. Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Quran persis sebagaimana halnya Al-Quran yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada orang-orang dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummi dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummi pula, Allah berfirman :
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah”. (Al-Jumu’ah : 2)
Biasanya orang-orang yang ummi itu hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya, karena mereka tidak bisa membaca dan menulis. Memang bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an ,mereka berada dalam budaya Arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat kuat dan hafalannya cepat serta daya fikirnya begitu terbuka. Orang-orang Arab banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab keturunannya. Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepala, dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali diantara mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut atau tidak hafal “ Almuallaqatul Asyar” yang begitu banyak syairnya lagi pula sulit dalam menghafalnya.
Begitu Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal fikiran mereka tertimpa dengan Al-Qur’an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Quran. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperolah ruh/jiwa dari Al-Qur’an.
Nabi saw karena keinginannya yang melambung tinggi untuk menguasai Al-Qur’an, beliau menghiasi malam dengan membaca ayat-ayat Al-Quran melalui shalat, sebagai pengabdian dan penghayatan serta pendalaman terhadap maknanya sampai kedua terlapak kakinya menjadi bengkak karena lamanya berdiri sebagai realisasi dalam melaksanakan perintah Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Agung. Firman Allah swt:
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit daripadanya,yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu perlahan-lahan”. (Al-Muzzammil : 1-4)
Karenanya maka tidaklah mengherankan kalau Rasul menjadi seorang yang paling menguasai Al-Qur’an. Ia bisa mengabdikan (menghimpun) Al-Qur’an dalam hatinya yang mulia. Ia menjadi titik tumpuan orang-orang islam dalam masalah yang mereka perlukan sehubungan dengan masalah Al-Quran.
para sahabat r.a mereka saling berlomba dalam membaca dan mempelajari Al-qur’an,segala kemampuannya mereka curahkan untuk mengusai dan menghafal Al-Qur’an,mereka mengajarkan kepada keluarganya/istri serta kepada anak-anaknya dirumah masing-masing,sehingga kalau ada orang yang melewati rumah mereka di waktu malam yang gelap gulita ia akan mendengar alunan Al-Quran bagaikan gema suara kumbang.
Pada suatu ketika nabi pernah lewat disamping rumah sahabat dari kaum Anshar, beliau berhenti dari satu rumah ke rumah yang lain pada malam gelap gulita dimana beliau mendengar bacaan Al-Qur’an. Bukhary meriwayatkan sebuah hadis dari dari Abu Musa Al-Asy’ary bahwasannya Rasul saw bersabda kepadanya :
“ Andaikan engkau melihat aku tadi malam ketika aku mendengar bacaanmu sungguh kau telah menghiasi pendengaranku dengan sebuah tiupan suara seruling pengikut Daud…“
Imam Muslim menambahkan dalam riwayat yang lain :
Aku mengatakan:
“Demi Allah ya Rasul Allah, andaikan aku tahu bahwa engkau mendengarkan bacaanku niscaya akan aku tulis sebagai kenangan buatmu”.
Dalam riwayat yang lain dari Rasulullah saw bahwa ia bersabda :
“ Saya mengetahui kelembutan alunan suara keturunan Asy’ary tentang bacaan Al-Quran adalah pada malam hari,dan saya mengetahui rumah tinggal mereka di waktu malam sewaktu mereka membaca Al-Quran padahal di siang hari saya belum mengetahui dimana rumah mereka”. Hadits riwayat Syakhani (Bukhary Muslim).
“Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran,maka adakah orang yang memberi pelajaran?” (Al-Qamar : 17)
Ia Allah menjaganya dari perubahan dan penyelewengan dengan dua cara yaitu pengabdian dalam bentuk tulisan dan bentuk hafalan dalam hati, sesuai dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. ( Al-Hijr : 9).
Dengan tidak diragukan lagi hal tersebut adalah merupakan suatu pertolongan Allah khusus untuk Al-Quran serta merupakan suatu pertolongan Allah khusus Al-Quran serta merupakan prioritas dan keistimewaan yang luar biasa kepada umat Muhammad. Dimana Allah telah menjadikan Injil-Injilnya dalam dada dan ia menurunkan suatu kitab yang tak hancur terendam air.
2. Pengumpulan dalam bentuk tulisan
Keistimewaan yang kedua dari Al-Quranul Karim ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah saw, mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Quran beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tersebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Annas r.a bahwasannya ia berkata :
“Al-Quran dikumpulkan pada masa Rasul saw. Oleh empat orang yang kesemuanya dari kaum Anshar, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu zaid, Anas ditanya : “siapa ayah Zaid?” Ia menjawab : “Salah seorang pamanku”.
Mereka itu adalah orang-orang yang paling terkenal sebagai sekretaris wahyu, disamping itu masih banyak lagi sahabat yang menulis Al-Quran. Dikalangan mereka banyak yang memiliki mushaf pribadi yang ditulisnya sesuai dengan yang didengar atau hafalan yang diterima dari Nabi saw, seperti: mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali, mushaf ‘Aisyah dll.
a. Cara-cara penulisan suhuf-suhuf dan mushaf Al-Qur’an
Adapun caranya mereka menulis Al_Quran yaitu mereka menulisnya pada pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang dan sebagainya. Hal itu karena pabrik dan perusahaan kertas di kalangan orang Arab belum ada, yang ada baru di negeri-negeri lain seperti Parsi dan Romawi tetapi masih sangat kurang dan tidak disebarkan. Orang-orang Arab menulisnya sesuai dengan perlengkapan yang dimiliki dan pantas dipergunakan untuk menulis.
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata :
“ kami menulis Al-Quran di hadapan Nabi pada kulit ternak”.
maksudnya,kami mengumpulkannya karena pengertian menyusun adalah suatu ungkapan yang menyatakan tertib ayat sesuai dengan petunjuk Nabi saw dan menurut perintah dari Allah swt. Karena itu ulama telah sepakat bahwa pengumpulan Al-Quran adalah tauqify (menurut ketentuan) artinya susunannya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dalam mushaf-mushaf adalah sesuai dengan perintah dan wahyu dari Allah.
Telah disebutkan bahwa Jibril a.s bila membawakan sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi ia mengatakan :
“ Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada urutan kesekian surat …..”
demikian pula halnya Rasul memerintahkan kepada para sahabat :
“ Letakkanlah pada urutan ini”.
PENGUMPULAN AL-QUR’AN MASA ABU BAKAR AS SHIDDIQ
Setelah wafatnya Rosulullah SAW, dan pergantian kepemimpinan islam pun akhirnya jatuh pada pilihan untuk menjadikan seorang kholifah dari kalangan shohabat sendiri. Akhirnya, pilihan untuk menjadikan Kholifah pertama yang dipercaya untuk membawa umat islam agar sesuai tatanan dan ajaran Rosulullah SAW adalah beliau Abu Bakar As-Shiddiq r.a. Setelah pembaiatan yang dilakukan shohabat Umar Bin Khottob terhadap Beliau , kemudian dilanjutkan dengan yang lain, maka secara resmi beliaulah pengendali yang memegang setir untuk mengarahkan umat islam kepada tatanan ajaran islam sesuai dengan apa yang Rosulullah SAW ajarkan. Pada masa pemerintahannya, beliau banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan problem yang rumit, diantaranya memerangi orang-orang murtad(keluar dari agama islam) yang mulai muncul dikalangan orang islam, diantaranya yang paling terkenal yaitu memerangi Musailamah Al Kadzab, yang mengaku sebagai Nabi, yang mana nantinya menimbulkan pecahnya perang Yamamah yang merenggut puluhan huffadzh(para shohabat Nabi yang menghafal Al-Qur’an) .
Aliran ini begitu menyimpang dan menyesatkan. Ditengah berjalannya kepemimpinan dan kepemerintahan beliau Abu Bakar, Al-Qur’an sedikit demi sedikit mulai mendapat perhatian yang mendalam. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya para shohabat penghafal-penghafal Al-Qur’an, dimulai semenjak terjadinya perang Bir Ma’unah, terjadi sebelum Rosulullah wafat, dalam perang ini ada kurang lebih empat puluh hingga tujuh puluh al-qurra’ yang gugur dalam medan perang tersebut . Hal ini menjadi semakin terlihat parah, dengan pecahnya peperangan Yamamah yang terjadi berikutnya pada tahun 12 H, dibawah pimpinan Khalid bin Walid, yang mana pertempuran tersebut merenggut banyak penghafal-penghafal Al-Qur’an, namun peperangan yang kedua ini terjadi sepuluh tahun setelah wafatnya Rosulullah SAW. Dalam peperangan tersebut, tak sedikit jiwa yang menjadi korban, diantaranya tujuh puluh orang qurra’ turut gugur dalam peperangan tersebut. Jika ditotal secara keseluruhannya kurang lebih terdapat 140 al-qurra’ yang gugur dalam peperangan . Qurra’ adalah kelompok beberapa shohabat yang tekun membaca Al-Qur’an, menghafal dan memelihara surat-surat dan ayat-ayatnya.
Melihat kenyataan ini, shohabat Umar Bin Khottob r.a. semakin merasa khawatir, beliau yang semenjak awal telah prihatin dan khawatir akan punahnya para qurra’ dan hilangnya Al-Qur’an. Semenjak itu pula beliau mulai mendesak Kholifah Abu Bakar As-Shiddiq untuk segera menyalin dan membukukan Al-Qur’an. Inisiatif tentang pembukuan Al-Qur’an ini muncul pertama kali pada masa kholifah Abu Bakar Shiddiq atas usulah dari shohabat Umar Bin Khottob r.a. Disegi lain, shohabat Umar r.a. juga merasa khawatir kalau terjadi peperangan lagi ditempat-tempat lain yang kembali melibatkan para qari’ al qurra’.
Perlu diketahui, bahwa shohabat Umar r.a. menyampaikan usulannya tersebut kepada Abu Bakar r.a. tatkala ketika Abu Bakar tengah dalam keadaan sedih dan sakit.
I. Kodifikasi Al-Qur’an mulai di usulkan
Pada awalnya, Usulan shohabat Umar Bin Khottob r.a. mendapat keraguan dari Abu Bakar, hal ini disebabkan karena tindakan penulisan dan pembukuan Al-Qur’an belum pernah dilakukan maupun diperintahkan oleh Rosulullah SAW , didasari oleh rasa untuk menjaga kemurnian agama islam dari segala bid’ah dan hal-hal yang menyimpang ajaran Nabi. Namun Umar Bin Khottob masih tetap mendesak untuk tetap segera membukukan Al-Qur’an dikarenakan rasa kekhawatirannya yang tinggi terhadap Al-Qur’an. Setelah dijelaskan oleh Umar r.a. tentang sisi-sisi positifnya akhirnya Abu Bakar pun menerimanya.
Berikut percakapan antara beliau Umar Bin Khottob dengan Abu Bakar As-Shiddiq dan Zaid Bin Tsabit:
Dari Zaid Bin Tsabit r.a., bahwa ia berkata:
”Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang hafal Al-Qur’an sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada di samping Abu Bakar.
Kemudian Abu Bakar mengatakan:
”Umar telah datang padaku dan ia berkata:”Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak mengancam terhadap para penghafal Al-Qur’an. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur’an terus-menerus terjadi disetiap pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur’an yang hilang. Saya berpendapat agar anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an”.
Aku (Abu Bakar) menjawab:
”Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang Rasul SAW pernah melakukannya?”
Umar r.a. menjawab:
”Demi Allah perbuatan tersebut adalah baik” .
Telah berulangkali shohabat Umar Bin Khottob mengulang-ulang ucapannya untuk meyakinkan Abu Bakar, hingga akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar sebagaimana telah dibukakannya hati Umar Bin Khottob. Keraguan dan kekhawatiran Abu Bakar sebenarnya muncul karena melihat orang akan mulai mempermudah dalam usaha menghayati dan menghafalkan Al-Qur’an, cukup dengan hafalan yang tidak mantap dan khawatir kalau-kalau mereka hanya berpegang dengan apa yang ada pada mushaf yang akhirnya jiwa mereka lemah untuk menghafal Al-Qur’an. Dan ditakutkan jika minat para umat islam setelahnya akan berkurang untuk menghafal Al-Qur’an, karena pada shahabat sebelumnya, mereka semua begitu bersungguh-sungguh dalam menghafal dan menghayati Al-Qur’an. Abu Bakar adalah salah seorang sahabat yang benar-benar bertitik-tolak dari batasan-batasan syari’at, beliau selalu mengikuti jejak Rasulullah, apapun yang dari Rasul selalu beliau ikuti dan beliau selalu menjauhi bid’ah.
Beliau takut terseret oleh ide-ide dan gagasan-gagasan yang menyeret kepada selain sunnah Rasul SAW. Namun dengan pengertian dan tujuan yang berguna bagi kemaslahatan umat islam dan tentunya untuk hal penjagaan Al-Qur’an itu sendiri, dan dengan keridho’an dari Allah SWT, maka dengan mudah usulan tersebut dapat diterima oleh semua orang. Setelah usulan tersebut diterima oleh Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) langsung memerintahkan kepada shohabat Zaid Bin Tsabit untuk segera mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang pernah ditulis oleh para sholabat yang berdasarkan dari Nabi Muhammad langsung.
Sebenarnya, penulisan wahyu Al-Qur’an sudah ada ketika masa Rosulullah, namun belum ada pemikiran untuk membukukan Al-Qur’an. Disaat Rosulullah masih menerima wahyu Al-Qur’an, beliau selalu membacakannya dihadapan para shohabat dan kemudian dihafalkan oleh para shohabat diluar kepala.
Bangsa Arab pada saat itu belum banyak yang dapat membaca dan menulis, kebanyakan dari mereka adalah Ummi , seperti halnya Rosulullah sendiri. Namun, pada umumnya mereka memiliki daya ingatan yang sangat kuat. Orang-orang Arab yang memiliki pikiran yang terbuka, tak heran jikalau beribu-ribu syair mampu mereka hafalkan. Disaat bangsa Arab tengah mengalami kemajuan budaya yang tinggi pada waktu itu. Bahkan mereka mampu untuk menguraikan terhadap silsilah keluarganya sendiri. Tak heran jikalau dalam bahasa arab, atau istilah arab, mereka sering mencantumkan nama silsilah didalamnya, dan bukan merupakan sebuah keajaiban jikalau diantara mereka tidak hafal “Al-Mu’allaqat Al-Asyar” yang begitu banyak syairnya dan sulit pula untuk menghafalnya. Bagi para shabat yang menulis wahyu pada masa Rasulullah, itu semua semata-mata karena keinginan mereka sendiri, disamping dengan tujuan untuk membantu mereka dalam menghafal, diharapkan pula, tulisan ayat-ayat tersebut mempunya faedah kedepannya .
Saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Qur’an tengah dalam posisi telah dihafal oleh sebagian shahabat, namun belum ada istilah mushaf, dan ayat-ayat dan surah-surah masih terpisah dalam lembaran-lembaran yang berbeda. Belum ada penertiban terhadap Al-Qur’an, setiap ayat dan surah terdapat dalam lembaran berbeda menggunakan tujuh huruf yang berbeda, dan belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Setiap Al-Qur’an diturunkan, segeralah dihafalkan oleh para qurra’ dan ditulis oleh para Kuttab (penulis). Al-Qur’an ketika itu juga belum mendapat penertiban asbabun nuzul pula, sehingga tak jarang banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang me-nasikh ayat yang turun sebelumnya, atau bahkan mungkin bertentangan dan bertolak belakang dengan ayat yang sebelumnya. Andaikata pada masa Nabi, seluruh Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf yang satu padu, tentu nantinya akan membawa perubahan pada wahyu yang akan turun lagi.
Az-Zarkasyi berkata :
”Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan setelah Al-Qur’an turun semua, dan lebih jelasnya lagi dengan pertanda wafatnya Rasulullah, bahwa Rasulullah lah sang penyampai wahyu Allah, apabila sang utusan penyampai wahyu telah kembali kepada Sang Pemberi wahyu yaitu Allah SWT, maka hal itu merupakan pertanda bahwa wahyu Al-Qur’an telah tuntas diturunkan, dan tugas beliau sebagai Utusan Allah pun telah usai.
Melihat dari pengertian dan pemahaman diatas, telah diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit berkata:
”Rasulullah telah wafat, sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali”.
Maksudnya, Al-Qur’an masih belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang setiap hari kita baca kini.
Di pihak lain, Al Khattabi berkata :
”Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf karena beliau senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya''.
Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rosulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan Al-Qur’an secara lengkap kepada Khulafa’ur Rasyidin sesuai dengan janjiNya yang benar terhadap umat ini tentang jaminan pemeliharaan terhadap Al-Qur’an. Diantara semua shohabat Rosulullah, ada beberapa diantaranya nama-nama yang termashur sebagai Kuttab (penulis wahyu), yaitu:
Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Ubay Bin Ka’ab Bin Qays, Zaid Bin Tsabit, Az-Zubair Bin Awwam, Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, Al Arqam Bin Maslamah, Muhammad bin Maslamah, Abban bin Sa’id bin Al-‘As, Khalid bin Sa’id (saudara Abban), Tsabir bin Qays, Khalid bin Al-Walid, Abdullah bin Al-Arqam, Al-A’la bin Utbah, Syurahbil bin Hasanah. Namun dari kesekian nama shohabat diatas, Zaid bin Tsabit adalah yang paling banyak menulis wahyu, karena itulah khalifah Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk diberikan amanat mengumpulkan dan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis. Semua tulisan ayat-ayat wahyu yang diturunkan, disimpan dirumah Rasul, dan sebagian dari mereka juga menulis untuk dirinya sendiri.
Pada masa Rosulullah, bangsa arab masih belum menggunakan kertas dan tinta untuk menulis, tetapi mereka menggunakan pelepah kurma, kulit binatang, tulang-tulang, dan batu sebagai sarana untuk menulis. Meskipun sesungguhnya ketika itu sudah ada Negara-negara yang mulai menggunakan kertas, seperti halnya Persia dan Romawi.
Dalam segi upaya untuk menjaga Al-Qur’an, karena mencukupkan apa yang tertulis saat itu dapat hancur, demikian pula bila hanya mencukupkan hafalan saja, sedangkan orang-orang berikutnya yang menukilkan dari mereka tidak mempunyai keistimewaan seperti orang-orang yang hafal pada saat itu.
I. Ditunjuknya seorang Kuttab
Ketika usulan untuk membukukan dan mengumpulkan Al-Qur’an telah diterima dan disepakati, maka Abu Bakar As-Shiddiq yang ketika itu menjadi kholifah serta merta menunjuk shohabat Zaid bin Tsabit untuk mengemban amanah itu. Secara sepintas hal ini mungkin dianggap biasa, karena melihat posisi dan peran shahabat Zaid bin Tsabit sendiri yang juga merupakan orang yang paling sering menulis wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tapi, Al-Qur’an sendiri adalah pedoman hidup manusia, bukan bermaksud untuk menvonis, akan tetapi adakah sesuatu rahasia di balik Zaid bin Tsabit dan itu semua? Karena yang menjadi sekertaris wahyu Rosulullah bukan hanya Zaid bin Tsabit saja, tetapi ada juga Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, ‘Ubai bin Ka’ab. Namun kenapa pilihan Abu Bakar jatuh kepada shahabat Zaid bin Tsabit? Tentunya hal ini akan kita bahas dan kita jabarkan tentang apa sebenarnya rahasia yang tersembunyi dibalik Zaid bin Tsabit r.a.
Zaid bin Tsabit adalah seseorang yang sejak awal masa Nabi Muhammad telah menjadi sekertaris wahyu beliau, sehingga kesimpulan awal dapat diambil bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang lebih faham dan lebih tahu tentang wahyu-wahyu yang telah diturunkan. Ada hal lain yang lebih menarik dari Zaid bin Tsabit, yang mana hal itulah yang menjadi pertimbangan Abu Bakar. Selain Zaid r.a. memiliki kedudukan dalam hal qira’atnya, penulisan, pemahaman, serta kecerdasannya, shahabat Zaid bin Tsabit lah yang hadir dalam pembacaan wahyu terakhir dari Rasulullah SAW. Zaid bin Tsabit tergolong orang yang wara’ 5, dan unggul pula dalam akhlak dan ketaqwaannya. Abu Bakar pernah berkata :”Anda adalah seorang pemuda yang tangkas yang tidak kami ragukan. Anda adalah penulis wahyu Rasul” 6.
Ketika Abu Bakar menyampaikan kepada Zaid bin Tsabit tentang hal pembukuan Al-Qur’an seperti halnya yang telah disampaikan shahabat Umar bin Khattab, pada awalnya Zaid pun turut menolak, kemudian keduanya bertukar pendapat, hingga akhirnya Zaid bin Tsabit menerima permintaan tersebut dan sepakat untuk membukukan Al-Qur’an.
Dalam upaya mengumpulkan Al-Qur’an, shahabat Zaid memulainya dengan hafalan-hafalan para shahabat, serta tulisan-tulisan ayat dan surah yang tersimpan di rumah Rasulullah maupun yang disimpan oleh para shahabat sendiri, hal ini karena keinginan para shahabat untuk menulis wahyu murni dari kehendak hatinya sendiri.
Tugas mengumpulkan Al-Qur’an sangatlah tidak mudah, hal ini dibuktikan dengan lontaran kalimat yang diucapkan oleh shahabat Zaid bin Tsabit, beliau pernah berkata:” Demi Allah sekiranya mereka membebankan aku untuk membawa gunung, niscaya yang demikian itu tidaklah lebih berat dari pada mengumpulkan Al-Qur’an”.23
Pada akhirnya, misi untuk mengumpulkan Al-Qur’an tersebut selesai pada tahun 13 H, perlu waktu satu tahun untuk mengumpulkan Al-Qur’an dan itu semua dibawah pengawasan kholifah Abu Bakar As-Shiddiq r.a. Namun pada masa itu, lembaran-lembaran yang telah dibukukan belum dinamai dengan “mushaf”, jadi ketika itu belum ada istilah mushaf, hanya suhuf-suhuf ** yang dibukukan. Baru setelah dimusyawarahkan,Al-Qur’an tersebut dinamakan dengan “mushaf”27.
Dalam penyalinan kembali Al-Qur’an, Abu Bakar menetapkan pedoman sebagai berikut 24:
1. Penulisan berdasarkan kepada sumber tulisan Al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasul yang tersimpan di kediaman Rasulullah SAW.
2. Penulisan berdasarkan kepada sumber hafalan para sahabat penghafal Al-Qur’an.
Dalam mengumpulkan Al-Qur’an, Zaid bin Tsabit mengawalinya dengan hafalan-hafalan para shahabat dan tulisan-tulisan yang ada di rumah Rasulullah.
Diantara mushaf-mushaf yang berhasil dikumpulkan pada masa kekholifahan, mushaf Abu Bakar memiliki keistimewaan sendiri. Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting,
diantaranya ialah:
(1) Diperoleh dari hasil peneliatan yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
(2) Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
(3) Ijma’ ummat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
(4) Mushaf mencangkup qiro’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar sahih 25.
Baru setelah Abu Bakar wafat, saat kedudukan kholifah digantikan oleh shahabat Umar bin Khattab, mushaf yang telah di bukukan disimpan oleh Hafsah. Adapun sebab disimpan oleh Hafsah karena :
a. Hafsah adalah istri Rasul dan anaknya khalifah
b. Hafsah itu pandai membaca dan menulis26
Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq dan Ustman bin Affan, masing-masing penulis memegangi mushaf tulisannya sendiri-sendiri. Pada waktu itu banyak mushaf yang tersebar di kota-kota besar, misalnya penduduk Kufah memegangi mushafnya Ibnu Mas’ud, penduduk Basrah memegangi mushaf Abu Musa Al ‘Asy’ari, penduduk Damaskus memegangi mushaf Miqdad bin Aswad, penduduk Syam memegangi mushaf Ubay bin Ka’ab. Baru beberapa saat setelah Ustman bin Affan menjadi khalifah, wilayah kaum muslimin dan Negara-negara islam menjadi meluas.
C. PENGUMPULAN AL-QUR’AN DI MASA UTSMAN
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an di masa Utsman r.a adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca Al-Qur’an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah ibnu Masud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asyari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.
Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasannya ia berkata:
“pada masa pemerintahan Utsman guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan''.
Berita tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “ kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya” .
Karena latar belakang dari kejadian tersebut Utsman dengan kehebatannya pendapatnya dan kebenaran pandangannya ia berpendapat untuk melakukan tindakan preventif menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sahabat yang terkemuka dan cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah dan perselisihan. Mereka semua sependapat agar Amirul Mukminin menyalin dan memperbanyak mushaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya mengintruksikan agar orang-orang membakar mushaf yang lainnya sehingga tidah ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Sahabat Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi. Ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat di andalkan. Mereka tersebut adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said ibnu Al-Ash, dan Abdurahman ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid nin Tsabit dimana dia adalah dari kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun ke-24 H.
Utsman mengatakan kepada mereka
“bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy “
Utsman meminta kepada Hafsah binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah dikumpulkan Abu
Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak dan setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafsah mengabulkannya.
a. Motif Ustman bin Affan mengumpulkan Al-Qur’an
Imam Al-Bukahari meriwayatkan dari Anas ibnu Malik bahwasannya ia berkata:
“Sesungguhnya Hudzaifah Ibnu Al-Yaman datang kepada Utsman, ketika itu, penduduk Syam bersama-sama dengan penduduk irak sedang berperang menaklukan daerah Armenia dan Adzrebijan. Tiba-tiba Hudzaifah merasa tercengang karena penyebabnya adalah faktor perbedaan dalam bacaan . Hudzaifah berkata kepada Utsman : Ya Amirul Mukminin perhatikanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan dalam masalah Kitab sebagaimana perselisihan diantara kaum Yahudi dan Nasrani”.
Selanjutnya Utsman mengirimkan surat kepada Hafsah yang isinya:
“kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Quran kami akan menyalinnya dalam bentuk mushaf dan setelah selesai akan kami kembalikan lagi kepada anda”.
Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Utsman. Kemudian para sahabat yang lain menyalinya kedalam mushaf.utsman berpesan kepada ketiga kaum quraisy bila sahabat yang lain dan Zaid bin Tsabit berbeda pendapat tentang hal Al-Quran maka tulislah dengan ucapan/lisan Quraisy karena Al-Quran diturunkan dengan lisan Quraisy. Setelah mereka selesai menyalin kedalam beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf yang baru tersebut ke seluruh daerah dan ia memerintahkan agar semua bentuk lembaran yang lain di bakar.(Riwayat Al-Bukhary)
pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka (Quraisy),
sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain Quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian sudah berakhir, Karena itulah beliau membatasinya hanya pada satu logat saja”. Dengan usahanya itu,Ustman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari penambahan dan penyimpangan.
Dalam hal informasi tentang berapa sebenarnya jumlah Negara yang mendapat suplay tentang Al-Qur’an, para ulama juga mempunyai perbedaan pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan usman ke berbagai daerah;
- Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekah, Syam, Basrah, Kufrah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan; ‘’Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata; ‘’Telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah.’’
- Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing dikirimkan ke Irak , Syam, Mesir, dan Kufah. Berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni’;
‘’Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika usman menulismushaf, ia membuat empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing dan satu buah untuk dirinya sendiri.’’
- Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. Asuyuti berpendapat bahwa pendapat inilah yang masyhur.
D. PERBEDAAN ANTARA MUSHAB ABU BAKAR DAN USTMAN
Pengumpulan Mushaf pada masa Abu Bakar As-Shiddiq r.a. adalah bentuk pemindahan dan penulisan suhuf-suhuf Al-Qur’an ke dalam satu Mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun dan menyeluruh (lengkap). Satu pembukuan mushaf yang padu merupakan mushaf yang berasal dari tulisan yang terkumpul dari kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang. Adapun latar belakang diadakan pengumpulan Al-Qur’an ialah karena banyaknya para Huffadzh* yang gugur dalam peperangan yang sering muncul pada masa itu. Hal ini begitu dianggap sebagai suatu hal yang serius, karena dikhawatirkan akan musnahnya para huffadzh serta nasib Al-Qur’an pun sangat bergantung pada mereka. Karena pengumpulan Al-Qur’an dilaksanakan pertamakali pada masa Abu Bakar, dan jarak kurun waktu antara pengumpulan Al-Qur’an dengan wafatnya Rasulullah merupakan yang paling dekat, sehingga hal ini dirasa lebih mudah dan lebih efisien dibandingkan dengan pada masa yang lainnya. Disamping itu, karena kedekatannya yang begitu erat, penyusunan dan penulisan yang ada, masih sama persis dengan Al-Qur’an saat diturunkan awal kali.
Sedangkan Pengumpulan Mushaf pada masa kholifah Utsman bin Affan r.a. adalah penyalinan kembali terhadap Mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar As-Shiddiq dengan tujuh huruf yang berbeda-beda tersebut, yang mana akan dirubah menjadi satu huruf dengan tanpa memperdulikan enam macam huruf yang lain, yang kemudian di kirimkan dan disebarkan ke seluruh Negara-negara islam, diantaranya Madinah, Makkah, Suriah, Kufah dan Basrah, namun mengenai kejelasan informasi Negara-negara yang mendapat suplay penyalinan mushaf masih controversial, yang nantinya akan kita bahas pula.
Sebenarnya, disamping banyaknya macam tulisan huruf yang ada, latar belakang lain agar disusunnya kembali mushaf Al-Qur’an pada masa kholifah Usman bin Affan adalah perbedaan dalam hal pembacaan Al-Qur’an yang disaksikannya sendiri, baik di daerah-daerah maupun di Negara-negara, dan mereka sendiri saling salah menyalahkan terhadap satusama lain.
Ibnu Tin dan yang lain mengatakan :
”Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dengan Ustman ialah bahwa pengumpulan oleh Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Qur’an karena kematian para penghafalnya,sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul dalam satu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka.
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Ustman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan. Karena khawatir akan timbul ’bencana’, Ustman segera memerintahkan untuk menyalin lembaran-lembaran itu kedalam satu mushaf dengan menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka (Quraisy),
sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain Quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian sudah berakhir, Karena itulah beliau membatasinya hanya pada satu logat saja”.
Dengan usahanya itu,Ustman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari penambahan dan penyimpangan.
Dalam hal informasi tentang berapa sebenarnya jumlah Negara yang mendapat suplay tentang Al-Qur’an, para ulama juga mempunyai perbedaan pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan usman ke berbagai daerah;
- Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekah, Syam, Basrah, Kufrah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan; ‘’Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata; ‘’Telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah.’’
- Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing dikirimkan ke Irak , Syam, Mesir, dan Kufah.
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni;
''Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika usman menulis mushaf, ia membuat empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing dan satu buah untuk dirinya sendiri.’’
- Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. Asuyuti berpendapat bahwa pendapat inilah yang masyhur.
Lembaran-lembaran yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting:
1. Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendatail dan kemantapan yang sempurna .
2. Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaanya.
3. Ijma umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir
4. Mushaf mencakup qiraat sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang sahih.
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman memiliki kelebihan sebagai berikut :
1. Di dalam pengumpulan tersebut ada pembatasan pada satu huruf (bahasa), yaitu bahasa quraisy.
2. Di dalam pengumpulan tersebut ada pembatasan pada bacaan yang didasarkan pada riwayat-riwayat yang mutawatir dan bacaan yang telah dianggap tetap (settle) dalam penyajian yang terakhir, dan bukan ayat yang mereka tulis berdasarkan riwayat ahad, dan tidak pula ayat yang telah dihapus bacaan-nya;
3. Tertib (susunan ) ayat-ayat dan surat-suratnya sebagaimana tertib yang dikenal sekarang.
Sumber:
-Nasution, Harun;1986;TEOLOGI ISLAM;Jakarta;UI Press.
- Moh. Aly Ash Shabuny, Pengantar study Al-Qur’an At-Tibyan,1984, Bandung, offset
- M.H. Thabathaba’i, Mengungkap rahasia Al Qur’an, 1987, Bandung, mizan
- Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an., 1987, Pustaka setia, Bandung
- Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, 1992, Halim Jaya.,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar